Jakarta – Indonesia menempati peringkat pertama penjualan bubble tea atau boba terbesar sepanjang 2021 dengan omzet 1,6 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Dilansir The Business Times, total penjualan bubble tea di Asia Tenggara selama 2021 mencapai 3,7 miliar dollar AS. Thailand menempati peringkat kedua penjualan bubble tea pada 2021 dengan omzet sebesar 749 juta dolar AS, diikuti Vietnam 362 juta dolar AS, serta Singapura 342 juta dolar AS. Laporan tersebut dibuat oleh perusahaan ventura Momentum Works dan startup pembayaran Qlub, Sejumlah merek bubble tea populer asal China mendominasi pasar di Asia Tenggara dengan omzet sebesar 20 miliar dollar AS, seperti Mixue, Chagee, Heytea, Gong Cha, dan Koi. Meski demikian, diperkirakan hanya 60-70 persen dari merek bubble tea yang berhasil mempertahankan profitabilitas dalam skala besar. Salah satu contoh merek bubble tea yang mendapat tantangan adalah Nayuki. Merek teh asal China ini mengalami penurunan pasar hingga 70 persen.
“Meskipun ada margin tinggi, bubble tea memiliki diferensiasi rendah dengan produk yang mudah direplikasi dan rantai pasokan menantang,” ujar Chief Operating Officer Qlub Sik Hoe Yong. Namun, ia tidak menampik nanyak anak muda di Asia Tenggara yang ingin membuka toko bubble tea suatu hari nanti.
Menurut Yong, saat ini banyak konsumen cenderung memilih merek bubble tea dengan harga sesuai isi dompet. Ia memprediksi, kecintaan banyak orang terhadap minuman manis ini kemungkinan tidak berubah dalam waktu dekat. Sementara itu, Jianggan Li, pendiri sekaligus ketua Momentum Works menyampaikan bahwa persaingan pebisnis lokal dengan pebisnis baru akan meningkat, terutama bila pintar branding, memasok bahan, juga mengatur biaya. “Tidak sulit untuk mengamati dan mempelajari permainan dan strategi mereka (pemain bubble tea lama), tetapi yang lebih penting adalah memastikan unit ekonomi yang positif dan pengembalian investasi yang baik,” kata Li.