NORWEGIA – Maria Corina Machado didapuk jadi peraih Nobel Perdamaian 2025 pada Jumat (10/10/2025). Penghargaan ini diberikan kepada Machado karena perannya sebagai aktivis oposisi Venezuela, dianggap berjasa dalam mengedepankan prinsip demokrasi damai.
Dijelaskan Komite Nobel Norwegia, Machado dianugerahi Nobel Perdamaian 2025 atas “kerja kerasnya yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan hak-hak demokrasi bagi rakyat Venezuela”.
“Maria Corina Machado memenuhi ketiga kriteria yang tercantum dalam surat wasiat Alfred Nobel untuk pemilihan penerima Hadiah Perdamaian,” tulis Komite Nobel Norwegia dalam rilisan persnya pada Jumat.
Machado dianggap berjasa karena telah menyatukan oposisi di tengah otoritarianisme Pemerintah Venezuela.
“Dia telah menyatukan oposisi di negaranya. Dia tidak pernah goyah dalam menentang militerisasi masyarakat Venezuela. Dia teguh dalam mendukung transisi damai menuju demokrasi,” tulis Komite Nobel Norwegia.
Maria Corina Machado dikenal secara luas sebagai salah satu aktivis oposisi dalam lanskap politik Venezuela di era kepemimpinan Presiden Hugo Chavez dan Nicolas Maduro.
Machado lahir di Caracas pada 7 Oktober 1967. Ia merupakan lulusan teknik industri Universitas Katolik Andres Bello (UCAB), juga lulusan administrasi publik dan kebijakan ekonomi Universitas Yale, Amerika Serikat.
Dalam 20 dekade terakhir, Machado merupakan salah satu sosok oposisi utama dalam lanskap politik Venezuela. Ia sangat vokal dalam menentang kebijakan Revolusi Bolivarian yang digagas Hugo Chavez dan diteruskan suksesornya, Nicolas Maduro.
Revolusi Bolivarian merupakan gerakan politik yang digagas Chavez pada 1999 lalu. Tujuannya adalah membangun apa yang ia sebut sebagai sosialisme abad ke-21 di Venezuela.
Sejak diprakarsai di penghujung abad ke-20 itu, pemerintahan Chavez gencar melakukan nasionalisasi sektor strategis, redistribusi kekayaan, dan menelurkan kebijakan anti imperialisme.
Akan tetapi, pelaksanaan kebijakan ini dipandang justru membuat situasi politik dan ekonomi di Venezuela bergolak. Krisis ekonomi dan korupsi mendera negara tersebut, sementara pemerintah justru berperilaku represif terhadap setiap oposisi.
Dalam situasi tersebut, Machado dikenal lantang menolak pendekatan pemerintahan negaranya itu karena dianggap telah merusak demokrasi.
Machado merupakan pendiri organisasi sipil Sumate pada 2002. Organisasi ini dibentuk Machado dan Alejandro Plaz sebagai organisasi monitoring pemilu.
Lembaga swadaya masyarakat itu dibentuk Machado atas kekhawatirannya tentang bagaimana pemilu berjalan di Venezuela. Ia menganggap ada yang tak beres dalam penghitungan suara dan bagaimana pemerintahan Chavez menjalankannya.
Organisasi Sumate kemudian menjadi salah satu penggagas upaya referendum warga negara Venezuela untuk membatalkan kepresidenan Hugo Chavez.
Pada 2010, Machado terpilih jadi anggota Majelis Nasional Venezuela. Melalui jabatan itu, ia menentang kebijakan Revolusi Bolivarian yang digagas Chavez. Namun, pada 2014, ia dipecat oleh pemerintah.
Sebagai oposisi, Machado vokal mengadvokasi reformasi ekonomi liberal di Venezuela. Ia mengkritik program nasionalisasi sektor strategis pemerintah dan mengampanyekan privatisasi perusahaan milik negara.
Machado juga merupakan pemimpin partai oposisi Vente Venezuela. Ia juga jadi salah satu orang di balik pendirian aliansi Soy Venezuela, sebuah persekutuan politik untuk menyatukan kekuatan pro-demokrasi terbuka.
Pada 2023, menjelang Pemilu Venezuela 2024, ia mengumumkan pencalonan diri sebagai presiden. Namun, upayanya digagalkan Dewan Pemilihan Nasional Venezuela yang dikontrol pemerintahan Maduro.
Pencekalan oleh Machado sebagai calon presiden itu dilakukan dengan alasan bahwa perempuan itu telah melakukan pelanggaran administratif dan mendukung kebijakan blokade ekonomi AS yang membuat ekonomi Venezuela merana.
Era kepemimpinan Maduro di Venezuela memang banyak dikritik karena pendekatan represif mereka kepada para lawan politiknya, terutama pada masyarakat sipil di negara itu.
Seturut Human Right Watch, otoritas Venezuela telah melakukan tindakan represif seperti pembunuhan, penghilangan paksa, penangkapan sewenang-wenang, dan penyiksaan terhadap warga negara yang menolak pemerintahan Maduro.
Dari Januari hingga Juli 2025, sebanyak 853 tahanan politik dipenjara di Venezuela, menurut kelompok hak asasi manusia Foro Penal.
Menukil New York Times, kepolisian Venezuela melalui Pasukan Aksi Khusus (FAES) berkali-kali melakukan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killings).
Pasukan itu diduga bertanggung jawab atas tewasnya 5.287 warga sipil pada 2018 lalu, dan 1.569 lainnya pada 2019.
Sejak 2024, Machado hidup dalam persembunyian di Venezuela guna menghindari penangkapan.
Sumber : Tirto.id