BENGKULU – EO (38), seorang ibu rumah tangga, warga Kelurahan Flamboyan Kecamatan Ratu Agung, Kota Bengkulu, mempertanyakan nasib laporan polisi yang dibuatnya hampir setahun yang lalu. Pasalnya, hingga kini perkara dugaan penelantaran anak yang dia laporkan itu tak kunjung naik ke Kejaksaan agar bisa diajukan ke meja hijau.
Kepada wartawan, EO mengatakan laporan dugaan penelantaran anak itu teregister dengan nomor laporan LP-B/1527/XII/2021/SPKT/POLRES BENGKULU, tanggal 03 Desember 2021. Status perkara sempat dinaikkan menjadi penyidikan, pada Maret 2022.
Hal itu dia ketahui berdasarkan tembusan surat pemberitahuan yang disampaikan penyidik perihal perkembangan penanganan perkara yang dikirimkan kepadanya selaku pelapor. Bahkan, mantan suami EO, berinisial DHW (34) selaku terlapor sudah diperiksa penyidik. Termasuk saksi-saksi lainnya. Namun berkas perkara tak kunjung naik ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).
EO juga sudah menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dari pihak penyidik Polres Bengkulu, tanggal 8 Maret 2022. Selain itu, sudah terbit Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik Polres Bengkulu ke Kejari Bengkulu.
Dalam surat tersebut, menjelaskan perkara terkait dugaan penelantaran anak dan ekonomi dalam lingkup rumah tangga. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77B jo Pasal 76 B UU nomor 35 tahun 2004 tentang Perusahaan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 49 jo pasal 9 ayat (1) UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Lalu, pada 10 Maret 2022, EO menerima SP2HP keempat, tentang penegasan status perkara. Ditingkatkan dari penyelidikan (Lid) ke penyidikan (Dik). Penyidik Satreskrim Polres Bengkulu menyatakan akan memanggil sejumlah saksi untuk dimintai keterangan. Termasuk terlapor DHW.
Namun dalam surat selanjutnya, penyidik menyatakan pemeriksaan terhadap DHW belum bisa dilakukan. Karena terlapor mangkir dari panggilan penyidik, dengan alasan masih menjalani pemeriksaan psikologis. Sementara pada suratnya kelima, tanggal 29 Juli 2022, penyidik menyampaikan telah menerima hasil pemeriksaan psikologis terlapor dari RSJKO Bengkulu. Penyidik pun kembali memanggil DHW untuk pemeriksaan lanjutan.
Di sisi lain, EO mengungkapkan kondisi yang dialaminya imbas dari kasus tersebut. Selama menjalani perkara tersebut, EO mengaku, dirinya dan DHW sempat dimediasi oleh pihak Polres Bengkulu dan Propam Polda Bengkulu, Oktober 2022. Namun mediasi gagal. Lantaran hanya dihadiri pengacara DHW.
“Dalam mediasi itu, perwakilan mantan suami pengennyo kasus ini damai. Pengen membayar kebutuhan selama saya melahirkan saja. Tapi untuk kehidupan setiap bulannya, mantan suami tidak mau. Jadi mediasi tak ada hasil,” tutur EO.
EO menuturkan, rumah tangganya dengan DHW, hanya berjalan beberapa bulan. Tiga bulan pertama mereka kerap cekcok. Bahkan pada bulan ke empat, tepatnya tanggal 6 Juni 2021, ia melaporkan DHW dan keluarganya ke polisi dengan tuduhan penipuan, dan pencemaran nama baik. Pasalnya, DHW dan keluarganya tidak hadir di pelaminan tanpa alasan jelas saat pesta perkawinan mereka, 5 Juni 2021.
Belum tuntas perkara itu, EO kembali melaporkan DHW pada Desember 2021, dengan dugaan penelantaran anak dan penelantaran ekonomi rumah tangga. Sebab ia telah mengandung bayi DHW namun tak penah dinafkahi.
Lalu, pada Januari 2022, DHW menggugat cerai EO. Gugatan DHW dikabulkan dan inkrah. Menurut EO, putusan hakim pengadilan agama menyatakan DHW tidak punya hak menafkahi istri dan anak dengan alasan sedang diperiksa kondisi psikologisnya.
“Saat sidang putusan saya tak bisa hadir karena melahirkan di rumah sakit. Hakimnya bahkan meminta DHW dan keluarga supaya menjenguk saya dan anaknya. Tapi mereka tidak datang,” sesal EO.
Kini, beban hidup EO kian berat, karena harus merawat anak semata wayang hasil benih asamaranya dengan DHW. Sementara itu, DHW tak pernah sekalipun menafkahi EO dan anaknya.
Menurut EO, ada alasan khusus DHW enggan mau menafkahi anaknya. Karena, menurut DHW, anak tersebut bukan anak kandungnya. “Saya difitnah oleh DHW. Dia tidak mengakui anak ini. Katanya saya hamil setelah saya diusir oleh dia, dan keluarganya dari rumah orang tuanya,” imbuh EO.
EO mengaku tidak tahu jika DHW ternyata sudah pernah menikah dan bercerai sebelum menikahinya. Ia juga tak tahu DHW menderita kejiwaan. “Sejak menikah, hamil dan melahirkan, saya tidak pernah diberi nafkah. Akhirnya saya mengadu ke Kelurahan. Saya lalu dapat bantuan BAZNAS untuk urus BPJS,” ujarnya.
EO menegaskan, dirinya akan terus memperjuangkan apa yang menjadi haknya dan anaknya. Ia meminta aparat penegak hukum menindaklanjuti laporan yang sudah hampir satu tahun dia sampaikan.
“Harkat dan martabat saya dan keluarga sudah dipertaruhkan. Saya mau DHW diberi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Saya tidak mau anak saya ini nanti besar mereka rampas seenaknya saja,” kata EO.
Belum Ada SPDP
Kasi Intel Kejari Bengkulu Riky Musriza mengatakan, pihaknya belum pernah menerima SPDP atas nama terlapor DHW. “SPDP itu produknya polisi. Silakan tanya ke mereka nomor SPDP nya,” ujar Riky.
Sementara Popi Yuningsih SH, salah seorang kuasa hukum DHW yang diminta tanggapan, mengaku sudah bukan kuasa hukum terlapor karena sudah mengundurkan diri. (tsr)