JAKARTA – Komisi VII DPR yang membidangi energi dan migas, mempertanyakan kenaikan cost recovery namun tidak diimbangi kenaikan produksi riil atau lifting migas. Siapa bermain?
“Karena kembali pertanyaan kita adalah, selama ini yang dipaparkan di paper, perlu penambahan cost recovery, tapi faktanya hari produksinya turun,” kata Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra, Moreno Soeprapto di Jakarta, dikutip Sabtu (8/6/2024).
Hal senada disampaikan Anggota Komisi VII dari Fraksi PKB, Abdul Kadir Karding bahwa cost recovery menanjak dari tahun ke tahun. Anehnya, tidak diimbangi kenaikan lifting migas.
“Intinya bahwa saya kira sama, saya cuma ingin dapat penjelasan lebih detail karena dari tahun ke tahun cost recovery itu naik terus, kemudian kinerjanya atau hasil lifting-nya itu tidak beranjak signifikan, ideal,” katanya.
Ia pun meminta penjelasan lebih detail persoalan tersebut. Dalam hal ini, Kepala SKK Dwi Soetjipto perlu menyelidiki jangan-jangan ada modus untuk terus menaikkan cost recovery demi mendapat keuntungan.
“Saya cuma ingin dapat penjelasan lebih detail, masalahnya di mana? Apakah karena inflasi atau mungkin harga barang dan sebagainya,” kata Karding.
“Atau mungkin Kepala SKK juga harus mulai mempelajari jangan-jangan ada modus mencoba menaikkan terus ini cost recovery dengan melakukan lobi-lobi di mana-mana tapi yang diuntungkan hanya orang per orang aja. Ini menurut saya harus diperjelas,” tambahnya.
Sebagai informasi, Kementerian ESDM mengusulkan cost recovery pada RAPBN 2025 sebesar US$8,5-8,7 miliar. Sementara, realisasi cost recovery hingga Mei 2024 sebesar US$2,51 miliar atau hanya 30 persen dari target APBN sebesar US$8,25 miliar. Sedangkan outlook 2024 sebesar US$8,26 miliar.
Lifting migas tahun depan diusulkan 1.583-1.648 ribu barel setara minyak per hari (boepd), di mana lifting minyak bumi sebesar 580-601 ribu barel per hari (bopd) dan gas bumi 1.003-1.047 ribu boepd.
Sumber: Inilah.com