Brotoseno Kembali Aktif di Polri, bukti Insubordinasi Komitmen Presiden Berantas Korupsi

Polisi Republik Indonesia, seperti tidak habis-habisnya didera persoalan manajemen Sumber Daya Manusia, di era kepemimpinan  Jenderal Polisi Listiyo Sigit Prabowo, sebagai Kepala Polisi Republik Indonesia, terutama pola rekrutmen dan penempatan Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Ketika pimpinan Polisi Republik Indonesia mengangkat mantan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, dan kawan-kawan sebagai ASN pada Polri, kemudian pengaktifan Ajun Komisaris Besar Polisi Murjoko Budoyono, mantan Napi korupsi suap 4,8 tahun penjara di Jawa Barat 2019 menjadi Pelaksana Tugas Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polisi Daerah Papua Barat.

Kemudian pengkatifan kembali Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno pada Badan Reserse dan Kriminal Polisi Republik Indonesia (Bareskrim Polri) pada 2020, memantik kontroversi.

Kebijakan pengaktifan kembali Ajun Komisaris Besar Polisi Murjoko Budoyono dan Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno dalam Korps Bareskrim Polri, ini namanya Insubordinasi Pimpinan Polri terhadap kebijakan Presiden Jokowi dalam Pemberantasan Korupsi. Ini melawan arus perubahan, memantik kontroversi dan “melukai”  Rasa Keadilan Publik.

Apalagi Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno, sudah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dan itu berarti terdapat pelanggaran terhadap sumpah jabatan.

Dengan vonis penjara selama 5 tahun dan telah berkekuatan hukum yang tetap atas suatu kejahatan korupsi yang diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 4 tahun dan maksimum 20 tahun, itu berarti ybs. sudah cacat Hukum, cacat Etika dan cacat Integritas Moral dan Kejujuran.

Oleh karena itu seharusnya tidak ada  lagi tempat bagi Ajun Komisaris Besar Polisi Murjoko Budoyono dan Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno untuk menduduki jabatan apapun atau menjadi anggota Kepolisian di institusi Polri, karena tindak pidana korupsi yang dilakukannya tergolong tindak pidana berat dan berdaya rusak tinggi, sehingga sulit dicarikan alasan pemaaf dan alasan pembenar.

Mendegradasi Putusan Hakim

Ancaman pidana korupsi terhadap Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno yaitu melanggar pasal 12 huruf a, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang: Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang: Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diancaman dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun” harus dilihat dari sisi “Tindak Pidana Korupsi” itu dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dan berdampak pada hak sosial, ekomoni dan budaya masyarakat.

Selain daripada itu, Komisi Kode Etik Polri (KKEP) juga harus melihat juga pada sisi pelanggaran yang dilakukan oleh Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno ketika menjadi Penyidik di KPK yaitu melakukan hubungan terlarang sebagaimana dimaksud pasal 66 ayat (1) UU KPK yaitu Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno selaku Penyidik KPK mengadakan hubungan langsung (pacaran) dengan Anggelina Sondakh sebagai tersangka tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK sehingga dipecat dari KPK.

Keputusan sidang KKEP, tanggal 13 Oktober 2020, memutus untuk tetap mempertahankan Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno dalam Kepolisian Negara RI tanpa mempertim- bangkan Putusan pemidanaan  berupa penjara 5 tahun atas tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama dan berlanjut, seperti dimaksud pasal 12 huruf a UU Tipikor jo. pasal 55 ayat 1 ke-1 jo. pasal 64 ayat (1) KUHP, memberi pesan bahwa Institusi Polri tidak memiliki politcal will untuk memberantas korupsi.

KKEP mengabaikan fakta-fakta

KKEP juga mengabaikan beberapa fakta penting untuk dipertimbangkan antara lain,

Pertama, Putusan Pengadilan Tipikor yang telah berkekuatan hukum tetap yang menghukum AKBP Brotoseno dengan pidana penjara 5 tahun, padahal Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang: Kepolisian Negara Republi Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 dan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011, tentang: Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur secara berlapis hal ihwal Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) bagi anggota Kepolisian yang menjadi terpidana.

Kedua, Pemecatan Pimpinan KPK terhadap AKBP Brotoseno selaku Penyidik KPK dan mengembalikan ke Bareskrim Polri karena melakukan perbuatan terlarang menurut pasal 66 ayat (1) Undang-Undang KPK yaitu bertemu langsung dengan tersangka Angelina Sondakh hingga di-pacarin.

Ketiga, Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno telah melanggar sumpah jabatan baik sebagai Anggota Kepolisian Republik Indonesia maupun selaku Penyidik KPK sehingga menurut pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003, tentang: Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara RI, Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno dapat diberhentikan tidak dengan hormat.

Nampak jelas KKEP telah mendegradasi putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang telah berkekuatan hukum tetap, yang memvonis AKBP Brotoseno dengan pidana penjara 5, mengkhianati program pemberantasan korupsi di kalangan Aparat Penegak Hukum (APH), dan para Komisoner KKEP telah memperlemah komitmen KKEP sebagai penjaga Moral dan Etik untuk memperkuat institusi Polri dalam penegakan hukum.

KKEP Seharusnya Jadi Penjaga Moral dan Etika Anggota Polri.

Konsiderans lahirnya Peraturan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indoensia adalah:

Pertama, Pelaksanaan tugas, kewenangan dan tanggung jawab anggota Polri harus dijalankan secara profesional, proporsional, dan prosedural yang didukung oleh Nilai-Nilai Dasar yang terkandung dalam Tribrata dan Catur Brata Prasetya yang dijabarkan dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI sebagai norma berperilaku yang patut dan tidak patut.

Kedua, Penegakan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dilaksanakan secara obyektif, akuntabel, menjunjung tinggi kepastian hukum dan rasa keadilan, serta hak asasi manusia dengan memperhatikan jasa pengandian anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam kasus Ajun Komisaris Besar Polisi Murjoko Budoyono dan Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno, KKEP sama sekali tidak menjunjung tinggi kepastian hukum dan rasa keadilan yang sudah dinyatakan melalui putusan Hakim Tipikor yang menyatakan AKBP Brotoseno terbukti secara sah dan meyakinkan secara bersama-sama dan berlanjut, juga pelanggaran sumpah jabatan Polisi Negara Republik Indonesia, yang tidak dipertimbangkan oleh KKEP.

Oleh karena itu Presiden Jokowi harus perintahkan Kapolri untuk meninjau kembali kebijakan pengaktifak kembali Ajun Komisaris Besar Polisi Murjoko Budoyono dan Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno atau dipecat dalam jabatan apapun di Kepolisian Negara Republik Indonesia.*

Jakarta, 6 Juni 2022

Petrus Selestinus SH, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) & Advokat Peradi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *